Mendikdasmen Abdul Mu’ti Gaspol Pemerataan Guru dan Revolusi Pendidikan Inklusif di Indonesia

Mendikdasmen Abdul Mu’ti Gaspol Pemerataan Guru dan Revolusi Pendidikan Inklusif di Indonesia. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa pemerintah tidak lagi bisa menunda langkah besar dalam pemerataan guru dan penguatan pendidikan inklusif di seluruh Indonesia.

Hal ini ia sampaikan saat membuka Sosialisasi Kebijakan Redistribusi Guru ASN Daerah dan Pendidikan Inklusif Regional Jakarta Tahap 2, Selasa (11/11), yang dihadiri para kepala dinas pendidikan, kepala BKD, dan perwakilan pemerintah daerah dari berbagai provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam pidatonya, Mu’ti menyebut redistribusi guru bukan sekadar program teknis, melainkan jalan strategis menuju “Pendidikan Bermutu untuk Semua” sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti Gaspol Pemerataan Guru dan Revolusi Pendidikan Inklusif di Indonesia

“Setiap anak Indonesia, tanpa kecuali, berhak atas layanan pendidikan terbaik di mana pun mereka tinggal. Ini bukan slogan—ini amanat konstitusi dan masa depan bangsa,” tegasnya.

Data Pendidikan Masih “Berantakan”, Menteri Mu’ti: Jangan Ada Lagi Guru Siluman!

Mu’ti tak segan menyoroti persoalan mendasar yang selama bertahun-tahun menghambat kebijakan pendidikan nasional: data yang tidak akurat.

Ia mengungkap masih adanya anomali dalam Dapodik, seperti:

sekolah rusak yang dilaporkan dalam kondisi baik,

hingga guru yang telah meninggal tetapi masih tercatat sebagai penerima tunjangan.

“Kita harus punya data yang jujur. Jangan sampai ada guru siluman atau guru wafat yang masih terdaftar sebagai penerima tunjangan. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujarnya tajam.

Redistribusi Guru Berbasis Meritokrasi, Bukan Kedekatan Politik

Mendikdasmen menekankan bahwa redistribusi guru harus berlandaskan meritokrasi dan kebutuhan riil di lapangan.

Menurutnya, penempatan guru tidak boleh didasarkan pada kedekatan dengan pihak tertentu atau kepentingan politik.

“Redistribusi guru adalah pondasi membangun sistem pendidikan yang adil. Guru harus ditempatkan berdasarkan kinerja dan kebutuhan daerah, bukan karena koneksi,” tegasnya.

Ia juga menepis anggapan bahwa langkah redistribusi hanya kebijakan baru karena pergantian menteri.

Kebijakan ini, menurutnya, merupakan upaya jangka panjang memastikan pemerataan layanan pendidikan.

Penguatan Pendidikan Inklusif: Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus Tidak Bisa Ditunda

Selain redistribusi guru, Mu’ti menyoroti pentingnya memperkuat pendidikan inklusif. Anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan akses belajar yang sama dengan siswa lainnya.

Beberapa langkah strategis pemerintah meliputi:

Guru yang kekurangan jam mengajar dapat dialihkan menjadi guru pendidikan khusus, jika memiliki latar belakang S1 PLB atau telah mengikuti pelatihan tingkat mahir.

Koordinator pembelajaran inklusif dapat dijadikan tugas tambahan resmi guru.

Tugas tambahan ini tetap dihitung dalam beban kerja guru.

“Ini bukan menambah beban guru, tapi memperluas arti pengabdian,” jelas Mu’ti.

Namun, ia mengakui bahwa kendala kultural masih kuat—mulai dari stigma terhadap anak berkebutuhan khusus hingga maraknya kasus perundungan.

“Masih ada orang tua yang menolak anaknya belajar bersama ABK. Padahal setiap anak adalah makhluk Tuhan yang mulia. Pendidikan inklusif harus dimulai dari perubahan budaya,” ujarnya.

Data Kekurangan Guru Nasional Masih Mengkhawatirkan

Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Dirjen GTKPG), Nunuk Suryani, melaporkan bahwa kebijakan redistribusi guru dan pendidikan inklusif kini berjalan berdasarkan:

Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025, dan

Kepmendikdasmen Nomor 82 Tahun 2025.

Beberapa poin penting:

Redistribusi kini dilakukan dua kali setahun (April dan November).

Berbasis aplikasi digital Ruang SDM, sudah dipakai 132 pemerintah daerah dan 10 yayasan pendidikan.

Kekurangan guru nasional masih mencapai 374.154 orang.

Sementara itu, terdapat kelebihan guru:

62.764 guru ASN

166.618 guru non-ASN

Tahun depan, pemerintah menargetkan melatih 18.000 guru pendamping khusus.

Nunuk menegaskan bahwa redistribusi guru dan pendidikan inklusif merupakan dua kebijakan yang saling menguatkan.

“Yang satu memastikan tenaga pendidik merata, yang satu memastikan kesempatan belajar setara bagi semua anak,” jelasnya.

Mu’ti: Ini Bukan Kebijakan Biasa—Ini Pondasi Masa Depan Pendidikan Indonesia

Menutup sambutannya, Menteri Mu’ti memastikan bahwa kebijakan redistribusi guru dan penguatan pendidikan inklusif bertujuan memperkokoh struktur layanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.

“Aturan ini dibuat demi kepentingan besar bangsa: memastikan layanan pendidikan yang adil, inklusif, dan bermutu bagi seluruh anak Indonesia, sekaligus memastikan guru mendapatkan haknya dengan layak,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *